Ideologi yang Berkembang
Indonesia yang mulai menyadari
bangsanya terluka akibat penjajahan dari bangsa Eropa mulai menunjukkan
kebangkitannya pada awal abad ke-20. Pada awal abad ke-20 ini dikenal dengan
periode Kebangkitan Nasional. Keinginana merdeka itu berasal dari beberapa proses
pemikiran mulai dari ide emansipasi atau ingin memiliki kedudukan yang sejajar,
mencoba bangkit dari keterbelakangan hingga cita-cita tinggi ingin membawa
bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memiliki martabat dan meningkatkan taraf
hidup bangsa. Ide-ide ini membentuk ideologi-ideologi yang mendasari munculnya
pergerakan nasional bangsa Indoesia.
Ada beberapa ideologi yang berkembang pada masa atau periode Pergerakan Nasional Indonesia, antara lain adalah sebagai berikut:
Ideologi Liberalisme
Ideologi liberalisme adalah ideologi yang dibawa oleh bangsa Belanda yang memiliki rasa keprihatinan terhadap bangsa Indonesia. Merka menganggap negaranya pantas untuk mendapatkan kemakmuran tapi bangsa yang diajajh tetap memiliki hak untuk setidaknya menikmati kesejahteraannya juga. Mereka menganggap apa yang dilakukan selama ini telah jauh melewati batas dan norma yang seharusnya.
Paham liberalisme sendiri merupakan paham yang mengutamakan kebebasan individu dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat seharusnya berhak untuk memperjuangkan kebebasan pribadinya untuk meningkatkan taraf hidupnya. Paham liberalisme ini dikembangkan oleh organisasi politik Indische partij.
Ideologi nasionalisme
Ideologi nasionalisme adalah ideologi yang menekankan pada rasa cinta dan rela berkorbannya terhadap taah air. Ideologi ini pertama kali diperkenalkan dan menjadi dasar dari perjuangan partai PNI yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Nasionalisme sebagai ideologi menunjukkan jika bangsa Indonesia memiliki kesamaan budaya, ciri, bahasa dan Wilayah dan sudah sepatutnya bangsa Indonesia bersatu dan mengusir para penajah.
Ideologi Komunisme
Ideologi komunis pertama kali diperkenalkan oleh Sneevliet, yang merupakan salah seorang pegawai perkretaapian. Sneevliet ini adlah salah seorang bangsa belanda yang dengan ideologi komunisnya ini mendirikan organisasi bernama Indische Social Democratis the Vereeniging (ISDV). Namun ISDV kesulitan mendapat simpati dari masyarakat karena masyarakat kurang percaya dengan Bangsa Belanda. untuk itu Sneevliet menjalin kerjasama dengan Semaun, seorang kepala cabang Sarekat Islam di Semarang. Akhirnya dari kerjasama ini menghasilkan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1920.
Ideologi demokrasi
Ideologi demokrasi pertama kali diperkenalkan di yunani. Pada saat itu demokrasi yang dikenal adalah demokrasi langsung. Namun karena kondisi Indonesia pada saat itu sedang berada dalam penjajahan bangsa lain ideologi demokrasi ini tidak dapat diterapkan di Indoensia. Karena tidak mungkin Belanda menerapkan ideologi demokrasi yang akan membahayakan kedudukannya.
Ideologi Pan-Islamisme
Ideologi pan-Islamisme adalah ideolgi yang berusaha mempersatukan umat islam sedunia. Ideologi ini muncul seiringn dengan jatuhnya dunia islam pada abad ke-19. Ideologi ini membangkitakan rasa perjuangan yang didasari ikatan keagamaan sehingga mendorong munculnya organisasi-organisasi perjuangan seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah dan lain-lain.
Latar Belakang
Adapun
faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya pergerakan nasional, antara lain adalah :
a.
Faktor yang berasal dari luar negeri (eksternal), antara lain: pada waktu itu
pada umumnya bangsa-bangsa di Asia sedang menghadapi imperialisme Barat. Hal
inilah yang mendorong bangkitnya nasionalisme Asia. Selain itu kemenangan
Jepang dalam perang melawan Rusia tahun 1905 juga membuktikan bahwa ternyata
Bangsa Timur dapat juga mengalahkan Bangsa Barat. Disamping adanya gerakan
Turki Muda yang bertujuan mencari perbaikan nasib.
b.
Faktor yang berasal dari dalam negeri (internal), yaitu adanya rasa tidak puas,
penderitaan, rasa kesedihan dan kesengsaraan dari bangsa Indonesia terhadap
penjajahan dan penindasan kolonial. Ketidakpuasan itu sebenarnya sudah lama
mereka ungkapkan melalui perlawanan bersenjata melawan Belanda di berbagi
daerah, antara lain: perlawanan yang dipimpin oleh Pattimura, Teuku Umar, Imam
Bonjol, Pangeran Diponegoro dll. Namun perlawanan-perlawanan itu menemui
kegagalan karena di antara mereka masih belum ada rasa persatuan nasional.
Kegagalan demi kegagalan inilah yang menyadarkan para pemimpin bangsa atau
dalam hal ini kaum pergerakan nasional untuk merubah taktik dan strategi
perjuangan melawan penjajah dalam mewujudkan cita-cita mereka, yaitu mencapai
“Indonesia Merdeka” dengan mendirikan organisasi-organisasi modern.
MASA
AWAL
Masa
awal ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi modern antara lain adalah
:
a.
Budi Utomo (BU, 20 Mei 1908)
(Dr. Wahidin Sudirohusodo)
Gagasan
pertama pembentukan Budi Utomo berasal dari dr. Wahidin Sudirohusodo, seorang
dokter Jawa dari Surakarta. Ia menginginkan adanya tenaga-tenaga muda yang
terdidik secara Barat, namun pada umumnya pemuda-pemuda tersebut tidak sanggup
membiayai dirinya sendiri. Sehubungan dengan itu perlu dikumpulkan beasiswa
(study fond) untuk membiayai mereka.
Pada
tahun 1908 dr. Wahidin bertemu dengan Sutomo, pelajar Stovia. Dokter Wahidin
mengemukakan gagasannya pada pelajar-pelajar Stovia dan para pelajar tersebut
menyambutnya dengan baik. Secara kebetulan para pelajar Stovia juga memerlukan
adanya suatu wadah yang dapat menampung kegiatan dan kehidupan budaya mereka
pada umumnya. Sehubungan dengan itu pada tanggal 20 Mei 1908 diadakan rapat di
satu kelas di Stovia. Rapat tersebut berhasil membentuk sebuah organisasi
bernama Budi Utomo dengan Sutomo ditunjuk sebagai ketuanyaPada awalnya tujuan
Budi Utomo adalah menjamin kemajuan kehidupan sebagai bangsa yang terhormat.
Kemajuan ini dapat dicapai dengan mengusahakan perbaikan pendidikan,
pengajaran, kebudayaan, pertanian, peternakan, dan perdagangan. Namun sejalan
dengan berkembangnya waktu tujuan dan kegiatan Budi Utomo pun mengalami
perkembangan.
Pada tahun 1914 Budi
Utomo mengusulkan dibentuknya Komite Pertahanan Hindia (Comite Indie Weerbaar).
Budi Utomo menganggap perlunya milisi bumiputra untuk mempertahankan Indonesia
dari serangan luar akibat Perang Dunia Pertama (PD I, 1914 – 1918). Namun,
usulan itu tidak dikabulkan dan justru pemerintah Belanda lebih mengutamakan
pembentukan Dewan Rakyat Hindia (Volksraad). Selanjutnya ketika Volksraad
(Dewan Rakyat) didirikan, Budi Utomo aktif dalam lembaga tersebut. Pada tahun
1932 pemahaman kebangsaan Budi Utomo makin berkembang maka pada tahun itu pula
mereka mencantumkan cita-cita Indonesia merdeka dalam tujuan organisasi.
b.
Serikat Islam (SI, Agustus 1911)
(H. Samanhudi)
(H. Samanhudi)
Meningkatnya
anggota Serikat Islam secepat ini, membuat pemerintah Hindia Belanda menaruh
curiga. Gubernur Jenderal Idenburg berusaha menghambat pertumbuhannya.
Kebijakan yang diambil antara lain dengan cuma memberikan izin sebagai badan hukum
pada tingkat lokal. Sebaliknya pada tingkat pusat tidak diberikan izin sebab
dianggap membahayakan, jumlah anggota yang terlalu besar diperkirakan akan
dapat melawan pemerintah.
Dalam
kongres tahunannya pada tahun 1916, H.O.S Cokroaminoto mengusulkan kepada
pemerintah untuk membentuk Komite Pertahanan Hindia. Hal itu menunjukkan bahwa
kesadaran politik bangsa Indonesia mulai meningkat. Dalam kongres itu
diputuskan pula adanya satu bangsa yang menyatukan seluruh bangsa Indonesia.
Sementara
itu orang-orang sosialis yang tergabung dalam de Indische Sociaal Democratische
Vereeniging (ISDV) seperti Semaun, Darsono, dan lain-lain mencoba mempengaruhi
SI. Sejak itu SI mulai bergeser ke kiri (sosialis). Melihat perkembangan SI
itu, pimpinan SI yang lain kemudian menjalankan disiplin partai melalui kongres
SI bulan Oktober 1921 di Surabaya. Selanjutnya SI pecah menjadi SI “putih” di
bawah Cokroaminoto dan SI “merah” di bawah Semaun dan Darsono. Dalam
Perkembangan SI “merah” ini bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)
yang telah berdiri sejak 23 Mei 1920.
Dalam
kongres Serikat Islam di Madiun pada tahun 1923 nama Serikat Islam diganti
menjadi Partai Serikat Islam (PSI). Partai ini bersifat nonkooperasi yaitu
tidak mau bekerjasama dengan pemerintah tetapi menginginkan adanya wakil dalam
Dewan Rakyat (Volksraad).
c.
Muhammadiyah (18 November 1912)
Pada
tanggal 18 November 1912 Muhammadiyah didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan di
Yogyakarta. Organisasi Muhammadiyah bergerak di bidang pendidikan, sosial dan
budaya. Muhammadiyah bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam dalam pelaksanaan
hidup sehari-hari agar sesuai dengan Al-Qur‟an dan Hadits. Muhammadiyah berusaha
memberantas semus jenis perbuatan yang tidak sesuai dengan al-Qur‟an dan hadits. Di samping itu,
Muhammadiyah juga giatmemerangi penyakit TBC (Taklid, Bid’ah
dan Churafat) yang menghinggapi masyarakat khususnya di Jawa.
Praktik
Churafat atau lebih dikenal dengan praktik-praktik amalan ibadah yang salah
menurut Islam, karena mendekati takhayul, perilaku syirik (menyekutukan Tuhan)
yang banyak terjadi di lingkungan Kerajaan Mataram Yogyakarta dan sekitarnya
seperti: percaya kepada kekuatan keris, tombak, peristiwa gerhana bulan
dianggap sebagai Buta Ijo sedang memakan bulan, dan bahkan ada yang percaya
kepada Nyi Roro Kidul. Hal itu barangkali alasan yang dapat menjawab pertanyaan
mengapa Muhammadiyah lahir di kota Yogyakarta.
Untuk
mencapai tujuannya Muhammadiyah melakukan berbagai usaha seperti: mendirikan
sekolah-sekolah, mendirikan rumah sakit, mendirikan panti asuhan, mendirikan
rumah anak yatim piatu dan lain-lain.
Di
bidang pendidikan Muhammadiyah mendirikan dan mengelola sekolah-sekolah dari
tingkat Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Di sekolah-sekolah
Muhammadiyah selain diajarkan agama juga diajarkan pelajaran umum yang mengacu
pada kaidah-kaidah modern. Pendidikan mengenal sistem kurikulum kelas atau
tingkatan, sebagaimana dilakukan sekolah model Barat.
Dalam
perkumpulan Muhammadiyah terdapat bagian wanita yang disebut Aisyiah, bagian
khusus anak gadis disebut Nasyiatul Aisiyah, dan kepanduan yang disebut, Hizbul
Wathan.
d.
Indische Partij (IP, 1912 )
Organisasi
yang sejak berdirinya sudah bersikap radikal adalah Indische Partij. Organisasi
ini dibentuk pada tanggal 25 Desember 1912 di kalangan orang-orang Indo di
Indonesia yang dipimpin oleh Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (dr.
Danudirja Setiabudi). Cita-citanya adalah agar orang-orang yang menetap di
Hindia Belanda (Indonesia) dapat duduk dalam pemerintahan. Adapun semboyan IP
adalah Indie Voor de Indier (Hindia bagi orang-orang yang berdiam di Hindia).
Dalam menjalankan propagandanya ke Jawa
Tengah, E.F.E Douwes Dekker bertemu dengan Cipto Mangunkusumo yang telah
meninggalkan Budi Utomo. Cipto Mangunkusumo terkenal dalam Budi Utomo dengan
pandangan-pandangannya yang radikal, segera terpikat pada ide Douwes Dekker.
Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Abdul Muis yang berada di Bandung
juga tertarik pada ide Douwes Dekker tersebut. Dengan dukungan tokoh-tokoh
tersebut, Indische Partij
berkembang
menjadi 30 cabang dengan 7.300 orang anggota, sebagian besar terdiri atas
orang-orang Indo-Belanda.
Indische Partij berjasa memunculkan konsep Indie
voor de Indier yang sesungguhnya lebih luas dari konsep “Jawa Raya” dari Budi
Utomo. Dibandingkan dengan Budi Utomo, Indische Partij telah mencakup suku-suku
bangsa lain di nusantara. Budi utomo dalam perkembangannya terpengaruh juga
oleh cita-cita nasionalisme yang lebih luas. Hal ini dialami juga oleh
organisasi-organisasi lain yang keanggotaannya terdiri atas suku-suku bangsa
tertentu, seperti Serikat Ambon, Serikat Minahasa, Kaum Betawi, Partai Tionghoa
Indonesia, Serikat Selebes, dan Partai Arab-Indonesia. Cita-cita persatuan ini
kemudian berkembang menjadi nasionalisme yang kokoh, hal ini menjadi pokok.
Masa akhir Indische Partij terjadi setelah Suwardi
Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo ditangkap. Pemerintah Belanda menganggap
Indische Partij mengganggu serta mengancam ketertiban umum. Oleh karena itu,
para pemimpinnya ditangkap dan dibuang. dr. E.F.E. Douwes Dekker atau dr.
Danudirja Setiabudi dibuang ke Kupang (NTT), dr. Cipto Mangunkusumo dibuang ke
Bandanaira di Kepulauan Maluku, dan Raden Mas Suwardi Suryaningrat dibuang ke
Pulau Bangka. Akhirnya kedua tokoh tersebut meminta dibuang ke negeri Belanda.
Demikian juga Douwes Dekker dibuang ke Belanda dari tahun 1913 sampai dengan
1918.
Pada saat pemerintah Hindia Belanda merayakan 100
tahun kemerdekaan negeri Belanda dari Belgia, tokoh yang disebut terakhir ini
juga menulis sebuah artikel berjudul “Als Ik de Netherlander was” (seandainya
aku seorang Belanda) yang berisikan kritikan pedas terhadap pemerintah. Kelak
karena permohonan ketiga tokoh itu sendiri, akhirnya mereka dibuang ke negeri Belanda.